Sejak tahun 1960 pola pertanian intensif dengan teknologi maju mulai diadopsi secara meluas dinegara-negara Asia. Teknologi tersebut dikenal dengan istilah revolusi hijau (green revolution). Di Indonesia revolusi hijau mampu meningkatkan produksi pangan, khususnya padi secara spektakuler. Namun demikian sukses tersebut harus dibayar mahal. Berbagai masalah berikutnya bermunculan seperti kerusakan ekosistem, marjinalisasi petani kecil dan buruh tani, rendahnya tingkat pendapatan petani, ketidak mandirian petani dan kelompok tani, rendahnya mutu produk pertanian. Konsep pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) dinegara kita sampai saat ini masih belum jelas implementasinya, meskipun secara konseptual telah diakomodir dalam UU no. 12 tahun 1992 tentang budidaya tanaman. Fakta dilapangan masih terkesan lemah dan kontradiktif . Hal ini terlihat dari program pertanian yang masih sebatas wacana. Dalam produlsi pangan misalnya paket teknologi masih didominasi oleh teknologi revolusi hijau. Teknologi ini diterapkan sejak program Bimbingan Massal (Bimas) intensifikasi secara sistematis meluas diseluruh Indonesia. Program tersebut dalam tataran praktis dilapangan cenderung bertolak belakang dengan filosofi pertanian berkelanjutan. Program pertanian selama ini lebih mengedepankan kepentingan maksimalisasi produksi demi kebutuhan pengamanan pangan nasional perlindungan (konservasi) lingkungan dan pemberdayaan petani. Walaupun pemerintah berkepentingan dengan agenda pertanian berkelanjutan, tapi kenyataan dilapangan belum membuktikan adanya kesungguhan untuk merealisasikan agenda tersebut. Ini terbukti dengan kemerosotan kualitas limgkungan tanah dan air akibat berbagai usaha intensifikasi pertanian dengan masukan anorganik (pupuk, pestisida, dan hormon pengatur tumbuh) dalam jumlah besar. Hal tersebut ditunjukan oleh kerusakan tanah yang serius dilahan pertanian dalam luasan besar. Dilain pihak para petani/kelompok tani tidak disiapkan secara sistimatik untuk melakukan langkah-langkah konservasi limgkumgan dalam proses produksinya. Dalam kegiatan penyuluhan pertanian materi konservasi lingkungan (ekosisten tanah dan air) juga cenderung diabaikan. Dalam kebijakan juga belum banyak kebijakan yang dirancang secara terpadu, sistematis, lintas sektoral, dan partisipatif dalam rangka konsep pertanian berkelanjutan. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan sifatnya masih parsial (tidak sistemik). PROGRAM NASIONAL PHT Program Pengendalian Hama Terpadu awalnya ditujukan untuk pengendalian hama wereng coklat yang menyerang tanaman padi secara besar-besaran pada tahun 1985. Selanjutnya tahun 1986 dengan Inpres no.3 tahun 1986 menjadi dasar untuk pelatihan penyuluh lapangan, petugas pengamat hama, dan para petani. Disamping itu juga berisi larangan penggunaan dan peredaran 57 jenis pestisida/insektisida organophospat. Pelatihan untuk para petani dilaksanakan lewat program Sekolah Lapang PHT (SLPHT) yang bertujuan untuk merubah sikap dan perilaku para petani dan berpartisipasi dalam dalam kemandirian petani dan kelompok tani. Para petani diharapkan mandiri dalam pengambilan keputusan, dan mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengendalian hama dilahan usahanya, yaitu dengan mengadakan uji coba dilapangan dan mendiskusikan hasilnya dengan para petani lain non PHT. Hasil evaluasi dibeberapa daerah pada tahun 1987 dari beberapa kasus menunjukan beberapa kelemahan program SLPHT dilapangan, antara lain pendekatan, isi materi, metodologi, kinerja fasilitator, pengorganisasian, dan monitoring evaluasi. Hal ini disebabkan dalam pendekatan PHT kegiatan pertanian tidak dilihat secara terintegrasi. Hal ini berakibat kurang efektifnya program ini dalam menjawab permasalahan dan kebutuhan petani dilapangan. Disamping itu sampai saat ini baru 3,4 % petani yang sudah menerapkan program tersebut. Namun demikian apabila dilihat dari sisi penggunaan pestisida, program tersebut membawa dampak yang positif. Tingkat penggunaan pestisida setelah program tersebut secara nasional menurun tajam dari tahun 1986 sebanyak 14.200 ton menjadi 5.800 ton pada tahun 1988. Meskipun demikian program PHT masih belum menunjukan suatu pendekatan yang memuaskan dalam kontek pembangunan pertanian berkelanjutan. Program PHT masih sarat dengan kepentingan pengamanan produksi (ketersediaan) pangan bagi masyarakat. Idealnya penerapan konsep pertanian berkelanjutan harus dirancang secara terpadu dan terintegrasi. SISTEM PERTANIAN TERPADU Sistem pertanian terpadu merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau metoda bertani yang dipadukan dalam rencana manajemen usahatani yang utuh. Di Amerika Serikat pada bulan Januari 1988 United States Departement of Agriculturre (USDA) telah lebih dahulu mereformasi kebijakan pertanian yaitu Low Input Sustainable Agriculture (LISA) merupakan kombinasi teknologi dan metoda bertani secara terpadu. Kombinasi tersebut merupakan kesatuan dari bermacam-macam metoda bertani, seperti perpaduan antara pengendalian hama terpadu, kontrol biolgis, pergiliran tanaman berbasis tanaman kacang-kacangan (leguminosa). Teknologi tersebut merupakan penyimpangan satu kesatuan pertanian modern yang diadopsi secara meluas. Situasi tersebut disebabkan para petani dinegara paman Syam tersebut menghadapi tekanan finasial akibat penurunan ekspor produk pertanian, harga komoditi, dan nilai tanah. Solusi tradisional dengan memacu produksi malah semakin menjatuhkan harga komoditas pertanian. Petani juga berada dalam tekanan publik untuk mengurangi polusi akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta mengurangi erosi lahan. LISA juga dimaksudkan untuk memenuhi dua kepentingan petani, yaitu produksi dan konservasi. Pendekatan konvensional dengan teknologi modern cenderung mengabaikan faktor konservasi sumberdaya atau proteksi lingkungan. Meskipun konservasi sesuatu yang penting dan dibutuhkan, bagi petani dianggap sebagai beban atau pembatas maksimalisasi keuntungan. Untuk itu perlu disediakan bantuan teknis dan finansial dalam rangka mendukung hal tersebut. Kebijakan itu secara konseptual mempunyai dua tujuan, yaitu untuk memperbesar pendapatan petani dan memelihara lingkungan melalui pembangunan suatu sistem pertanian terpadu. Adapun tujuan yang mendasar program ini untuk penyediaan pangan dan hasil pertanian. Program LISA dipilih sebagai kebijakan alternatif dengan beberapa kelebihannya. Secara teknis sistem pertanian yang diterapkan berpotensi mengurangi ketergantungan para petani kepada pembelian berbagai input eksternal, sehingga keuntungan yang diperoleh lebih meningkat. Dari peluang kesempatan kerja dan diversifikasi usaha diyakini juga membangkitkan kekuatan vital dipedesaan. Juga menguntungkan masyarakat dalam menekan kerusakan lingkungan akibat erosi dan pencemaran bahan kimia terhadap air, tanah, dan udara, pengurangan beban pajak konsumen dalam program bantuan harga dari pemerintah, penghematan bahan baakar minyak, serta pemeliharaan kelanjutan lahan untuk generasi mendatang. Dampak negatif program ini antara lain ketidak seimbangan perdagangan (impor ekspor), kenaikan harga beberapa bahan pangan, penurunan pendapatan perusahaan produsen bahan kimia sintetis, serta ketimpangan produksi dan pendapatan antar kawasan. Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan program LISA yaitu multi disiplin, regional, dan lintas sektoral, melibatkan instansi publik, swasta, dan para petani. Para Petani, pakar dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga konsultasi / pelayanan, NGO, dll bekerjasama secara optimal mulai perumusan tujuan, perioritas, perencanaan program, pengembangan teknologi sampai proses evaluasi kegiatannya. Pada awalnya program ini ditekankan pada penyediaan informasi yang lengkap dan siap pakai berkenaan dengan pertanian berkelanjutan. Informasi tersebut antara lain berasal dari hasil penelitian yang telah dan sedang berlangsung. Selanjutnya para petani diberikan insentif yang diperhitungkan dari tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani. Pertimbangan lain dari pemberian insentif adalah resiko kerugian finansial/kegagalan. Kerugian finansial/kegagalan bisa disebabkan oleh produksi, pencemaran lingkungan, dan gangguan kesehatan para petani. Kebijakan ini menunjukan adanya suatu kesadaran baru dengan tidak melihat pencapaian tingkat produksi tertentu sebagai tujuan. Implikasi tujuan produksi terhadap faktor lain seperti lingkungan, sosial budaya, ekonomi, dan politik menjadi sama pentingnya. Berbagai kajian dan penelitian yang bersifat teoritis atau empiris secara intensif. Petani dan semua pihak yang terkait dilibatkan sepenuhnya. Berbagai akses fasilitas, insentif, jaminan seharusnya disiapkan. Kajian sementara menunjukan bahwa sistem pertanian berkelanjutan sangat menjanjikan, karena banyak keuntungan yang dapat diraih secara ekonomis, ekologis, dan sosiologis. PENUTUP Pembangunan pertanian di Indonesia mensyaratkan paradigma baru dari para pengambil kebijakan. Sektor pertanian dalam paradigma baru perlu dilihat sebagai suatu sistem yang integral. Seluruh komponen sistem idealnya harus diuntungkan dan berkembang secara proporsional. Kondisi ini belum terjadi di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan reformasi kebijakan pembangunan pertanian yang mengacu konsep pertanian berkelanjutan. Sebelum reformasi itu digulirkan, pemerintah masih harus membenahi masalah besar yang belum terjawab diera orde baru, yaitu ketidakseimbangan antara faktor-faktor produksi : tanah, tenaga kerja, dan modal. Pembenahan ini perlu karena usaha tani berkelanjutan biasanya menempuh strategi diversifikasi usaha tani dan padat karya. Agar usaha tani tersebut layak secara ekonomis, dibutuhkan tingkat pemilikan modal dan tanah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dibidang pertanahan dan permodalan agar petani memperoleh kemudahan dan akses memperoleh modal. Faktor lain yang perlu disiapkan untuk memdukung sistem pertanian berkelanjutan adalah kesiapan petani. Hal mendasar yang dibutuhkan petani adalah suatu model pendidikan yang memicu kesadaran kritis mereka. Hal ini penting agar para petani dapat mengambil sikap terhadap pilihan-pilihan yang diberikan kepada mereka, misalnya dalam hal teknologi . Sistem pertanian berkelanjutan juga mensyaratkan informasi yang utuh, terpercaya, dan dapat diakses dengan mudah oleh petani. Dari pihak pemerintah, dituntut kemauan pilitiknya untuk mereformasi kebijakan, pendekatan, serta metodologi pembangunannya selama ini. Misalnya untuk mengurangi segala macam peraturan (regulasi) dan pengendalian yang cenderung berlebihan serta membelenggu kebebasan dan mengingkari hak-hak petani. Dukungan berupa insentif seperti asuransi juga perlu untuk dipertimbangkan diberikan kepada petani. Kelembagaan petani juga perlu diperkuat dengan jalan memberikan akses kepada petani seluas luasnya untuk mengorganisir diri dan memperkuat posisi mereka tanpa intervensi dan pembatasan oleh pemerintah. Perlu disadari bahwa agenda pertanian berkelanjutan hanyalah merupakan salah satu dari sekianbanyak agenda refoemasi sektor pertanian yang perlu terus diperjuangkan. Masih banyak lagi masalah-masalah petani yang sampai sekarang belum teratasi. Semua itu disebabkan oleh kebijakan pembangunan pertanian selama ini masih belum berpihak kepada para petani. Petani umumnya dibiarkan berjuang sendiri untuk memperjuangkan hak-haknya. Aksi-aksi menuntut reformasi yang marak sekarang ini perlu digunakan sebagai momentum untuk membangun jaringan aliansi yang lebih luas sambil terus menerus memperjuangkan kebijakan alternatif sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia. Semua itu tentu dalam kerangka merekonstruksi kebijakan pembangunan pertanian masa lalu yang belum berpihak kepada petani. |
Sabtu, 31 Desember 2011
PERTANIAN BERKELANJUTAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar